12 Angry Men



Oleh: Riswan Indra


Jika sekarang semua mata sedang tertuju pada The Hurt Locker, sang peraih 6 Piala Oscar untuk tahun ini, saya malah berpikiran untuk kembali ke tahun 1957. Di tahun ini, Sidney Lumet sukses meluncurkan sebuah tontonan yang “berat” namun ditampilkan secara sangat sederhana. 12 Angry Men, film yang tidak hanya unik, menarik, tetapi juga mendidik. Film ini selain disorot oleh para kritikus, juga direkomendasikan secara pribadi oleh Eleanor Roosevelt. Ia merekomendasikan film ini sebagai film "wajib tonton" di Amerika masa itu. Tak heran jika sampai sekarang film ini masih diganjar dengan rating yang tinggi, bahkan lebih tinggi dibanding dengan The Hurt Locker yang sekarang hanya mendapat 8,0 di IMDB. Apa yang membuat film ini layak mendapat rating tinggi tersebut? Mari kita telusuri satu persatu.

Pertama, film ini dikatakan unik karena dalam durasi 90 menit hanya di shoot dalam satu ruangan. Para penonton tidak disuguhkan scenery seperti pepohonan, mobil, atau benda lain. Jadi, maaf-maaf saja, jika anda mengharapkan adegan mobil bertabrakan, atau bom-bom yang meledak, anda tidak akan menemukan itu disini. Hanya akting dan kaitan emosi antar karakter yang perlahan-lahan membangun konflik dan klimaks film ini.

Kedua, selain hanya di shoot dalam satu ruangan, dari awal film ini dimulai, penonton benar-benar cuma mendengarkan 12 orang yang berdiskusi untuk memutuskan sebuah kasus. Hanya berbicara, berbicara, dan berbicara namun tidak terasa membosankan. Nggak percaya? nonton dulu.. :)

Ketiga, film hitam putih ini hanya bermodalkan US$ 350.000. Tentu saja sangat sedikit jika dibandingkan dengan Avatar, film canggih yang super duper mewah itu. Terbukti bahwa sebuah film bagus, tidak harus selalu mengeluarkan budget yang fantastis.

Keempat, 12 Angry Men sukses menohok wajah dunia peradilan Amerika pada masa itu. Ia bercerita tentang 12 orang juri yang akan menentukan nasib seorang anak kecil yang menjadi terdakwa setelah membunuh ayahnya. Merekalah yang akhirnya akan memutuskan apakah anak tersebut akan dihukum mati atau sebaliknya, diputuskan tidak bersalah. Nah, di film ini digambarkan bahwa untuk menegakkan hukum tidak cukup dengan hanya mendengarkan apa yang dikatakan saksi dan berdasarkan pada bukti yang ada, namun perlu kajian mendalam tentang siapa para saksi, dan sejauh mana mereka reliable dengan kesaksian mereka itu. Tambahan lagi, lingkungan sosial terdakwa juga seharusnya mempengaruhi keputusan seorang juri. Bagaimana ia dibesarkan, dan problem apa yang membentuk karakternya sehingga menjadi seperti sekarang. Jadi, bukti dan fakta bukanlah sebuah simpul mati untuk memutuskan seseorang bersalah atau tidak. "we're talking about somebody's life, here. We can't decide in five minutes. Supposing we were wrong?" (Hehe, jarang-jarang lho saya ingat dialog film, tapi penggalan kalimat yang diucapkan oleh karakter Henry Fonda ini sangat kuat dan membentuk jalan cerita).

Well, mungkin ada kelima dan keenam dan seterusnya yang akan anda temukan setelah menonton film ini. Tugas saya cuma mengantarkan anda ke depan pintu gerbang, andalah yang memasuki dan menjelajahi seluruh ruangan. Silahkan temukan sendiri mengapa anda anggap film ini “layak ditonton”, atau sebaliknya. Keep hunting for good movies, dan selamat menonton!!

Yesika Dewi Harnum


Watching movie is the best thing for me to escape from a stressful life. Selain shopping tentunya. And, thanks for my sister who insisted me to watch Avatar. Film ini memang patut mendapatkan standing applause. Avatar juga berhasil membuat mata saya berkaca-kaca dan terharu. Tidak hanya teknologi komputer grafis yang sangat canggih tapi isu dan cerita yang diberikan sangat mendukung. Seperti yang dikatakannya film ini bukanlah sekedar film science fiction yang hanya menggunakan wanita cantik sebagai nilai jual. Maaf,bagi para pecinta transformer or the kinds of that stuff, tidak ada scene yang akan menampilkan Megan Fox dalam slow motion berlari diantara kobaran api.uppss...

Film ini memang patut mendapat pujian apalagi dari saya. Dibuktikan dengan prestasi avatar dalam oscar yang meraih 9 nominasi dan menghasilkan lebih dari 1 milliar dolar AS di seluruh dunia! Dan pencapaian Avatar ini jelas telah mengalahkan Titanic sebagai film terlaris sepanjang masa, salah satu film yang disutradarai James Cameron juga...Wah, wah...Terimakasih untuk Cameron yang telah berhasil mencuri hati saya dan banyak ribuan movie freaks lainnya dengan usaha kerasnya selama sekitar 5 tahun untuk merampungkan film ini. Dan kini beliau akan menjadi salah satu sutradara favorit saya.

Isu yang diangkat film inipun sangat menarik. Jelas sekali film Avatar ini mencoba mengungkap sifat manusia yang sangat rakus. Merasa memiliki kekuatan dan senjata yang hebat, manusia mencoba menindas kaum Na’vi dan mengambil kekayaan alam serta tempat tinggal mereka. Ya.ya sepertinya film ini mencoba menggambarkan kejadian yang selama 4 bulan belakangan sering diberitakan. Terlepas dari semua itu, tetap saja ada cacat pada sebuah cerita, akting Sam Worthington (Jake Sully) sebagai pemeran utama cukup mengecewakan. Itu pendapat pribadi saya, entah mengapa saya tidak terlalu tersentuh dengan aktingnya sebagai pahlawan penyelamat Na’vi. Untungnya aktingnya terselamatkan oleh lawan mainnya Neytiri yang diperankan oleh Zoe Saldana.

Oh, oh, saya menjadi cerewet dan ngelantur kalau bicara film. Yup, seperti iklan saya tadi, bagimovie freaks yang belum menonton film ini, you’d better hurry up! Gak mau ketinggalan kan?

Cover "La Mannequin"

Di Bukit Tinggi

Oleh Rio SY

di bukit ini kita tak bisa saling berbagi tebing
tebing bermata batu bulat
longsorkanlah tangis agar sungai merasa membutuhkannya

aliran air selalu meninggalkan
padahal aku ingin membuat puisi dari riak
yang selalu berusaha mengelak sentuhan
seperti seorang penyair
tiba-tiba kita terlibat rasa dahaga pada ombak

kadang terdengar suara batu-batu
menghambat rambat akar
tak sanggup kubayangkan hidup dengan suara itu
selamanya
juga bagi keras kemarau turun di retak tanah yang rumit
angin berlari dari awan ke awan
membayangkan sebuah hujan

sisa puncak bukit ini seperti sebuah pembatas
antara halaman dan jalan kecil sebelum mendaki jenjang rumah
siapa yang sedang murung di kulit bukit?
menunggu kepulangan naik perlahan
sehingga aku tahu di sanalah alamatmu
alamat yang kuakui
ketika seseorang bertanya tentang tempat tinggal

Padang,2009

Dari sudut pandang Septri Lediana

Matahari terlalu garang siang itu, Kamis (7/5). Beberapa kru Komunitas Lampu Pijar (KLP) duduk di depan kantor jurusan Bahasa dan Sastra Inggris sambil menyandang tas ransel yang menggembung pertanda terlalu banyak memuat isi. Sambil menahan gerah kami menghibur diri dengan canda seadanya yang mengundang tawa. Waktu itu sudah 2 jam berlalu dari pukul 12 siang, waktu yang disepakati semua kru KLP untuk berkumpul di depan kantor Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris. Namun, dari 10 orang kru, baru beberapa orang kru saja yang sudah berada di tempat. Padahal rencana awal, paling tidak pukul 1 siang, kru KLP sudah meluncur ke Bukittinggi untuk syuting film La Mannequin. Masalah perkuliahan, pekerjaan atau aktivitas organisasi lainnya menjadi alasan yang tak pantas disalahkan, mengingat beberapa kru KLP tentulah memiliki kesibukan masing-masing di luar KLP. Berbagai hambatan pun terkadang datang tak terduga. Tak terelakkan susunan jadwal syuting selama tiga hari di Bukittinggi pun sedikit terganggu.

Waktu terus bergerak, beberapa kru yang ditunggu satu per satu berdatangan. Hanya satu dua orang kru saja yang belum datang. Kru KLP pun memutuskan untuk beranjak dari depan kantor jurusan Bahasa dan Sastra Inggris menuju terminal travel dan sepakat menunggu kru yang belum datang di sana. Dengan menyandang ransel masing-masing kru beranjak menunggu angkutan kota (angkot) di pinggir jalan. Lama menunggu, angkot tak juga kunjung datang. Kru KLP pun menyadari tak satu pun angkot yang lewat. Kemudian barulah diketahui, para supir angkot berdemo menolak larangan penggunaan cutting stiker. Tak ada satu pun angkot beroperasi hari itu yang bisa mengantarkan kru KLP ke terminal travel.

“Kenapa Pak Datuk harus meminjam kamera minggu ini? Kenapa banyak halangan yang bikin kru molor? Kenapa bantuan dana susah dicari? Kenapa angkot harus mogok hari ini? Ada yang mau daftar masalah lagi?” ujar salah seorang kru. Beberapa kru menanggapinya dengan tertawa. Terkadang dengan tawa beberapa masalah di KLP terselesaikan.

Maka dengan terik matahari yang begitu garang ditambah beban di punggung, kru KLP pun berjalan kaki menuju terminal travel yang berada sekitar satu kilometer jauhnya dari kampus UNP. Bukan jarak yang terlalu jauh. Namun, dengan beban berat di punggung dan matahari yang sangat tak bersahabat, satu kilometer seakan terasa lebih jauh. Manusiawi jika beberapa kru mengeluhkan situasi itu. Beberapa kru memilih untuk bersenda gurau dengan yang lainnya seraya menjaga semangat yang masih membara.
Tak lama kemudian semua kru KLP sudah berkumpul dan travel bersiap untuk melaju menuju Bukittinggi. Semua kru mengambil telah mengambil tempat masing-masing di dalam travel. Ada perasaan lega yang terasa, satu langkah lebih dekat menuju syuting film La Mannequin. Satu langkah lebih dekat lagi menuju impian yang sebentar lagi akan tercapai : film perdana yang menjadi pembuka awal untuk film-film berikutnya.

Sepanjang perjalanan tiap kru memilih cara masing-masing untuk menghabiskan waktu. Ada yang sibuk bercanda tawa satu sama lain. Ada yang bertukar pikiran, berdiskusi tentang satu potret kehidupan. Ada yang sibuk menikmati musik dengan headset terpasang di telinga dan kepala yang sesekali terangguk-angguk mengikuti hentakan musik. Ada yang sibuk mengetik sms di telepon seluler berkali-kali dan terseyum-senyum sendiri. Ada yang tidur menahan rasa pusing di kepala. Ada pula yang sibuk bermain dengan pikirannya sendiri tentang hal-hal yang ditinggalkan di kota Padang, tentang hal-hal yang belum selesai dan menunggu diselesaikan sepulang dari Bukittinggi nantinya. Begitu banyak yang menunggu diselesaikan, begitu banyak hal-hal yang menunggu di Bukittinggi.

***
Hari sudah senja ketika kru KLP menginjakkan kaki di Bukittinggi. Taman Jam Gadang terlihat ramai pengunjung. Tanpa basa basi dan istirahat terlebih dahulu, kru KLP langsung menggencarkan aksi. Kameramen, Fadli Akbar langsung mengambil kamera, mencari angel yang menarik untuk dijadikan latar. Sutradara, Arif Rizki, Co-Director, Riswan Indra dan Act Director, Rio SY sibuk memberi pengarahan pada sang Aktor, Andika Maesa Putra. Beberapa gambar untuk beberapa act dan scene diambil hari itu hingga malam hari. Hari pertama di Bukittingi tidak memberikan banyak waktu untuk kru KLP untuk mengambil lebih banyak gambar lagi.

Syuting hari itu ditutup dengan sepiring nasi goreng, teh panas, nasi soto atau secangkir cappuccino di salah satu kafe di dekat jenjang pasanggrahan.
Guyonan dan canda yang tiada henti. Tawa-tawa yang sangat sering menggema sampai membuat perut terasa kejang. Hingga pembahasan apa yang akan dilakukan setiba di rumah sang sutradara, Arif Rizki, tempat kru KLP berlabuh selama di Bukittinggi. Begitu banyak yang akan dikerjakan, dekorasi kamar yang masih belum sedikit pun dikerjakan, beberap properti yang harus dibuat. Semua hal yang membuat kru baru bisa tidur entah jam berapa. Namun, terbayangkan tidak akan terasa berat dengan segala canda dan tawa.

Dan di jenjang pasanggrahan malam itu, Bukittinggi terasa tidak sedingin biasanya.***

Dari sudut pandang Septri Lediana


Untuk semua kru KLP segera kumpul di kampus. Segera !!!

Pesan singkat itu dikirimkan dari telepon seluler sutradara La Mannequin, Arif Rizki ke semua kru KLP. Pesan yang menyiratkan kegentingan yang teramat sangat. Sontak hampir semua kru yang menerima pesan singkat itu panik. Bagaimana tidak, sehari menjelang keberangkatan ke Bukittinggi untuk syuting film perdana yang digarap komunitas Lampu Pijar (KLP) berjudul “La Mannequin” tentulah membuat semua kru harap-harap cemas. Semua rencana dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan syuting film tersebut sudah siap. Semua kru, aktor dan aktris pun telah sepakat kamis (7/5) syuting akan dimulai di Bukittinggi. Tak satu hal pun yang masih belum jelas kecuali kamera yang akan digunakan untuk syuting. Kecemasan melanda, bagaimana syuting film bisa dilaksanakan tanpa peralatan yang bisa dikatakan adalah peralatan yang paling penting.

Awalnya, kru KLP yakin tak akan ada halangan dalam peminjaman kamera milik Fakultas Bahasa, Sastra, dan Seni (FBSS) Universitas Negeri Padang (UNP) itu. Semua prosedur peminjaman kamera telah diikuti dengan benar. Beberapa paraf pejabat fakultas yang dibutuhkan untuk keperluan memenuhi sistem birokrasi pun telah dipenuhi. Dalam pikiran semua kru KLP, sudah dapat diartikan kamera telah ada di tangan. Hanya tinggal diambil saja ke bagian yang berwenang dengan menunjukkan surat yang telah diparaf.

Namun, di hari yang dijadwalkan untuk mengambil kamera. Bukannya kamera yang didapatkan oleh kru. Namun, kabar yang menyurutkan semangat hingga lebih dari 50 persen.

“Kamera dipakai salah seorang dosen. Jadi peminjaman kamera ini tak dapat kami penuhi.” Begitulah kata-kata yang dituturkan seorang pegawai kepada kru KLP.

Salah seorang dosen seni rupa yang akrab dipanggil Pak Datuk telah meminjam kamera itu tanpa terlebih dahulu mengikuti prosedur peminjaman. Hanya dengan menelopon langsung di hari itu saja, Pak Datuk berhasil meminjam kamera yang secara sistem telah duluan dipinjam kru KLP yang telah menjalani sistem birorkrasi peminjaman kamera beberapa hari sebelumnya. Status dosen Pak Datuk tentulah telah berhasil meruntuhkan semua sistem birokrasi yang ada. Dosen dan pihak fakultas yang seharusnya mendukung mahasiswa untuk berkarya dan menunjukkan contoh yang tak baik dalam hal disiplin terhadap segala peraturan telah meludahi peraturan itu sendiri. Bahkan kata-kata yang menunjukan betapa otoriternya Pak Datuk sebagai dosen pun menjadi pemacu kemarahan terbesar sekaligus akhir dari usaha untuk bernegosiasi agar bisa meminjam kamera itu darinya.

“Kalau Anda masih berusaha meminjam kamera ini. Berarti anda akan berurusan dengan saya,” kira-kira itulah yang diucapkan Pak Datuk pada kru KLP yang masih berusaha dapat meminjam kamera. Kata-kata inilah yang akhirnya membuat kru sadar tak ada lagi harapan untuk dapat syuting menggunakan kamera itu. Kru hanya bisa mengurut dada, bagaimana pun juga mahasiswa tetap menghindari konflik dengan dosen.

Maka sore itu berkumpullah kru KLP di depan Kantor Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris FBSS UNP, tempat biasa berkumpul. Jika biasanya di waktu-waktu berkumpul sebelumnya acap terdengar tawa dan guyonan antar kru. Namun, tidak untuk sore itu, kecemasan dan rasa marah tersirat jelas di wajah beberapa orang kru. Sedang beberapa kru lain muram atau berusaha terlihat tegar. Semangat menggebu-gebu yang sejak awal terlihat di wajah kru ketika memulai proyek film La Mannequin hampir padam. Rasa optimis film La Mannequin akan menjadi film pendek yang ‘bermutu’ mulai goyang.

Sebenarnya ada beberapa opsi yang dapat dipilih untuk tetap bisa mencapai harapan itu. Pertama, syuting diundur hingga kamera dikembalikan oleh Pak Datuk. Namun, opsi ini dipatahkan oleh fakta patung-patung manekin hanya bisa dipinjam sebelum, Senin (11/5). Sayangnya tak ada link lain untuk kemungkinan peminjaman patung manekin tanpa bayaran sepeser pun. Jika diperhitungkan waktu syuting selama 3 hari maka mau tidak mau syuting harus dilakukan mulai keesokan harinya, kamis (7/5), persis seperti rencana awal. Namun, jika rencana ini dijalankan berarti tak bisa menggunakan pinjaman kamera milik FBSS. Kru KLP bahkan tak tahu kapan Pak Datuk selesai menggunakan kamera.

Opsi kedua, syuting ditunda hingga kamera selesai digunakan Pak Datuk, sedang masalah patung manekin diatasi dengan menyewa manekin. Namun, masalah dana menjadi benturan untuk opsi ini. Sebagai komunitas yang baru terbentuk, tidak ada dalam jejeran struktur organisasi mahasiswa dan belum begitu dikenal kalangan pemberi bantuan dana, KLP masih terkendala masalah keuangan. Untuk menyewa patung manekin tentulah akan akan membutuhkan biaya cukup besar sedangkan dana yang ada di tangan dapat dikatakan pas-pasan kalau tidak mau dikatakan kurang. Alasan yang sama pula menjadi penghalang untuk opsi ketiga : menyewa kamera.

Ternyata telah berlama-lama kru KLP berkumpul di tempat itu. Senja telah beralih ke malam. Kru KLP masih menimbang-nimbang opsi mana yang terbaik untuk dipilih. Sesekali ekspresi dan kata-kata kesal untuk Pak Datuk masih dilontarkan. Tiap-tiap kru berusaha memberikan pertimbangan untuk tiap-tiap opsi. Saling berusaha menyemangati satu sama lain. Namun, rasa pesimis semakin lama semakin terasa.

“Berhasil sudah Pak Datuk menghancurkan semuanya hanya dalam waktu singkat,” begitulah kata-kata yang dilontarkan salah seorang kru.

Namun, untungnya rasa pesimis itu tak bertahan lama. Beberapa kru kembali optimis untuk tetap melanjutkan proyek ini apa adanya. Bagaimana pun kerja keras untuk menyelesaikan film ini telah setengah jalan.

“Pokoknya kita akan tetap berangkat ke Bukittinggi besok dan langsung syuting. Apa pun yang terjadi,” ujar salah seorang kru dengan semangat menggebu.
“Iya. Kita akan menyelesaikan film ini. Walau dengan kamera godok,” ujar kru lainnya tak kalah semangat. Ia mengangkat tinggi-tinggi handycam yang dipinjam dari Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris. Handycam yang kualitas hasil gambarnya kalah jauh dari kamera FBSS yang ada pada Pak Datuk.

Semua kru KLP pun setuju. Kesepakatan berikutnya semua kru akan berkumpul di tempat yang sama keesokan harinya, Kamis (7/5) tepat pada pukul 12.00 WIB.
Pertemuan hari itu pun berakhir. Semua kru membawa pulang kekesalan pada Pak Datuk dan sistem birokrasi yang pilih kasih.***

Satu Musim, Satu Kisah


:jenjang pasanggrahan

Di Bukittinggi aku tempuh lagi kesepian, kenangan yang saling dera mendera. 
Boulevard yang lengang, tangga panjang dan lampu temaram serta cuaca di gigil badan.

Di Bukittinggi apapun akan menjadi lain;
Hujan yang tertunda,
Riuh angin sepanjang jalan raya
Suara-suara dalam dada
Dan geletar yang tak biasa

Di Bukittinggi itu pula, kawan
Aku kenalkan engkau pada sebuah kisah. Duduklah, 
Dulu seseorang pernah berlarian dalam hujan. Begitu jauh dan sepi
Gaung-gaung suara, rintik cuaca di kemeja, titik hujan dari mata
Ia tak ingin mengingatnya; hujan manakah yang telah membawanya ke tangga itu. hujan manakah yang menariknya untuk mengisahkan ini padamu

Oh, di tangga itu kisah itu kembali menggaung. Adakah kau menangkap suara-suara (seperti seseorang meraung)

Dulu seseorang pernah mengutuk dirinya. Tepat di tempat engkau menyeruput ujung cangkir capuccinomu itu.
Jangan berdiri dulu, bukankah kau ingin mendengar kisah tentang gelisah?

Di Bukittinggi, aku menarikmu pada sebuah kisah;
Seperti sebuah suara yang ingin dibenam
Seperti lampu yang ingin aku padamkan
Atau seumpama semusim kisah yang ingin kau telan
Tapi menyesak tenggorokanmu
Dan sebuah pekik tajam kemudian menjelma tangis yang pilu, kawan
Kemudian malam yang sekam

Apakah kau tetap akan mendengar kisah ini
Jika kuminta capuccino satu cangkir lagi?


Arif Rizki